MeNuai HaRi EsOk Yg LeBih BaIk..

Rabu, 28 Januari 2009

TOLERANSI



TOLERANSI AGAMA Di ERA PLURALISME
*M. Fatchul Munif



Pluralisme secara substantif sebenarnya tidak terlalu baru di Indonesia. Realitas sosial masyarakat Indonesia memang tidak bisa dipungkiri dan diingkari lagi. Untuk itu keragaman, kebhinekaan atau multi kulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan yang akan datang.
Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pendefinisian pluralisme sebagai sebuah relativisme adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab, pluralisme sendiri mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya.

Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia bisa saling mengenal dan membuka diri untuk dapat saling bekerja sama.
Menjadi hak setiap orang untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena itu soal pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasamuh sesungguhnya merupakan salah satu di antara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ’ammah), keadilan (’adl). Beberapa prinsip ajaran agama tersebut merupakan sesuatu yang meminjam bahasa ushul fikih qath’iyyat dan kulliyat. Sebagai ajaran yang qath’iy, ia tidak bisa dianulir dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyat, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi waktu dan ruang (shalihatun li kulli zamani wa makani).
Merupakan sebuah kewajiban mutlak bagi setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah tentang prinsip-prinsp ajaran Islam di atas. Sabda Rasul, ballighu ’anni walaw ayatan. Sebagai suatu ajaran fundamental, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Al-quran. Alquran berpandangan bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antar sesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa Tuhan menciptakan planet bumi tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita’arafuu).
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa Islam menghargai dan menghormati keragaman dan kebhinekaan. Salah satu ajaran kita yang populer adalah wa in tasawau lahalaku (akan musnahlah jika kalian seragam). Tradisi-tradisi besar atau greater tradition mustahil terbentuk tanpa tradisi-tradisi kecil “small traditions”. Hal ini penting ditekankan karena kenyataan lain mengisyaratkan bahwa trend globalisasi, sentralisasi sangat timpang dan menindas serta menggilas budaya-budaya kecil. Menarik untuk dijadikan catatan bahwa kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW yang notabene penduduknya mayoritas muslim tidak menindas minoritas, dalam peristiwa fathu Makkah misalnya, Islam berhasil mengambil alih kota makkah akan tetapi Rasulullah dengan bijak berkata “barang siapa masuk ke dalam masjid maka dia akan selamat dan barang siapa dia masuk ke rumah abu shofyan juga akan selamat”. Dari peristiwa tersebut dapat kita ketahui bahwa betapa tingginya sikap toleransi yang diberikan oleh Rasulullah, padahal pada saat itu pasukan muslim bisa sesuka hati melakukan pembalasan terhadap perlakuan orang-orang kafir Qurays yang semena-mena terhadap kaum muslim di makkah waktu itu.
Indonesia tidak akan mungkin memiliki ideologi pancasila, seandainya para fonding fathers bangsa ini tidak mengembangkan sikap-sikap pluralistik. Sebelum Indonesia mengalami krisis multi dimensional sejak tahun 1997, Indonesia terkenal sebagai negeri damai yang saling menghormati, hingga negeri kepulauan ini selalu memikat para pengunjung manca negara. Sejak krisis terjadi paling tidak ada semacam beban psikis dari para turis manca negara yang berupa was-was atau kekhawatiran untuk menikmati keindahan panorama di Indonesia.
Maka, sungguh tidak cukup beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-akhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan perkataan lain, pemaksaan dalam perkara agama di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka- juga berlawanan dengan ajaran Islam sendiri. Allah berfirman (QS, al-Baqarah/2:256); "Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Rasulullah Muhammad pernah mendapat teguran dari Tuhan, yang terekam dalam QS, Yunus/10:99, "Maka apakah kamu (Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?"

Komentar :

ada 0 komentar ke “TOLERANSI”

Posting Komentar